Makalah Gender Dalam Pendidikan
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Latar Belakang
Studi – studi tentang gender saat
ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya
kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri,
dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum
lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum
perempuan dan mengajak mereka berperan serta
dalam pembangunan. Namun kenyataannya proyek-proyek
peningkatan peran serta perempuan agak salah arah
dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa
hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Dalam realitas yang kita jumpai pada
masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan
melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan adaa nilai
yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
akhirnya ke dapur juga.” Ada pula
anggapan seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan
tua. Paradigma seperti inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk
dan dianggap rendah kaum laki-laki.[1]
Pengertian Gender
Gender
adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender
adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki
dan perempuan.[2]
Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan
atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena
keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut
kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan
pembangunan. [3]
Dengan
demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau
rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat
berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa,
masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena
perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena
kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
Problematika Gender dalam
Pendidikan
Rendahnya
kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya
diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek
permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:[4]
1. Akses
Yang dimaksud dengan aspek
akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak
sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya
seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat
SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh
untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya
orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang
‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak
dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah.
Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
2. Partisipasi
aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan.
Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya
tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali
anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk
menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber
pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah
anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah
dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan
pencari nafkah.
3.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya
angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah
penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823
orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan
Pendidikan tidak hanya sekedar
proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala
pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang
berkaitan dengan isu gender.[5]
Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang
berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang
tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid,
dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran
berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang
terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan,
pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu
ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi
siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan
bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender
muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris[6] semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam
pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki
adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk
pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.
Pendidikan memandang
Gender
Dalam deklarasai Hak-hak asasi
manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap orang berhak mendapatkan
pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima
serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta
harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas,
sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah
unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau
konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi
terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu
kualitas yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan
bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar
mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.[7]
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui
perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 [8] tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender
meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat
yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang
unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Dengan
demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat
minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama
dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan ketrampilan lain.
Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan
menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk
memperjuangkan persamaan sesungguhnya.[9]
Membangun Pendidikan
Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk
tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru
pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman,
maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran
palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan
mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk
mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus
mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak
kepadakeadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.[10]
1. Analisis Gender di
Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam
suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi
belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat
dari pengamatan, penelitian dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah.
Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan
mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan
yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang
biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga seperti misalnya:
ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya,
struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan,
pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan,
lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana
lembaga sekolah tergenderkan.
2. Guru/Pendidik sebagai
Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan
akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu,
untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Jika
guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender,
maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan
gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru
memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat untuk menciptakan
keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya, melalui proses pembelajaran
di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam perlakuan di kelas. [11]
3.
Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode
pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode
pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan
adanya penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang tak
terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan
diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan
problematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog
dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas
tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan
kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep
penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.
4.
Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang
sangat penting dalam pendidikan peka gender, karena di dalam bahasa, lewat
pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan
dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak
terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh
seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling
menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa
dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam
pendidikan.
Menuju Kesetaraan Gender dalam
Pendidikan
Usaha untuk menghentikan bias
gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan
praktis gender (pratical genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan
mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender
harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai
pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu
pengetahuan.
Adapaun strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan adalah
sebagai berikut:[12]
- Penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
- Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
- Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan
- Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
- Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
Kesimpulan
Budaya bias laki-laki membentuk
perempuan cenderug nrimo, karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan tentang
kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak, akses
pendidikan perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama. Anak
perempuan, sebaimana anak laki-laki harus mempunyai hak atau kesempatan untuk
sekolah lebih tinggi.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki,
pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender
untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan
pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk
merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam,
manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa
membedakanjenis kelamin.
0 komentar:
Posting Komentar